Tuesday, April 24, 2012

Dhammapada : BAB II. APPAMADA VAGGA - Kewaspadaan

1. (21) Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan; kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak akan mati, Tetapi orang yang lengah seperti orang yang sudah mati.
Kisah »


2. (22) Setelah mengerti hal ini dengan jelas, orang bijaksana akan bergembira dalam kewaspadaan dan bergembira dalam praktek para ariya.
Kisah »


3. (23) Orang bijaksana yang tekun bersamadhi, hidup bersemangat dan selalu bersungguh-sungguh, pada akhirnya mencapai nibbana (kebebasan mutlak).
Kisah »


4. (24) Orang yang penuh semangat, selalu sadar, murni dalam perbuatan, memiliki pengendalian diri, hidup sesuai dengan Dhamma,dan selalu waspada, maka kebahagiaannya akan bertambah.
Kisah »

Kisah Nigamavasitissa

Nigamavasitissa lahir dan dibesarkan di suatu kota dagang kecil dekat Savatthi. Setelah menjadi seorang bhikkhu, dia hidup dengan sederhana, dengan mempunyai hanya sedikit keinginan.

Untuk berpindapatta, beliau biasanya pergi ke desa tempat saudaranya tinggal dan mengambil apa yang disediakan untuknya. Nigamavasitissa selalu melewatkan kesempatan menerima banyak dana makanan lainnya. Meski ketika menerima banyak dana makanan lainnya. Meski ketika Anathapindika dan Raja Pasenadi dari Kosala memberikan dana makanan dalam jumlah besar kepada para bhikkhu, Nigamavasitissa tidak mau pergi ke sana.

Kisah Seorang Bhikkhu

Seorang bhikkhu, setelah memperoleh pelajaran meditasi dari Sang Buddha, pergi ke hutan untuk bermeditasi. Meskipun dia berlatih dengan sungguh-sungguh, dia hanya memperoleh kemajuan yang sangat kecil. Akibatnya, ia frustasi. Dengan berpikir akan memperoleh petunjuk dari Sang Buddha, dia meninggalkan hutan menuju Vihara Jetavana.

Dalam perjalanannya, dia melewati nyala api yang sangat besar. Dia berlari menuju puncak gunung, dan mencari darimana api tersebut datang. Melihat api yang membakar itu, ia termenung. Pikirnya, seperti api yang membakar habis semuanya, begitu juga pandangan terang akan membakar semua belenggu kehidupan, besar dan kecil.

Kisah Magha

Suatu waktu, seorang Pangeran Licchavi, bernama Mahali, datang untuk mendengarkan khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha. Khotbah yang dibabarkan adalah Sakkapanha Suttanta. Sang Buddha menceritakan tentang Sakka yang selalu bersemangat. Mahali kemudian berpikir bahwa Sang Buddha pasti pernah berjumpa dengan Sakka secara langsung. Untuk meyakinkan hal tersebut, dia bertanya kepada Sang Buddha.

Sang Buddha menjawab, "Mahali, Aku mengenal Sakka, Aku juga mengetahui apa yang menyebabkan dia menjadi Sakka." Kemudian Beliau bercerita kepada Mahali, bahwa Sakka, raja para dewa, pada kehidupannya yang lampau adalah seorang pemuda yang bernama Magha, tinggal di desa Macala.

Kisah Dua Bhikkhu yang Bersahabat

Dua orang bhikkhu, setelah memperoleh suatu objek meditasi dari Sang Buddha, pergi ke vihara yang letaknya di dalam hutan.

Salah satu dari mereka lengah, dia menghabiskan waktunya untuk menghangatkan tubuh dengan api dan berbicara pada waktu-malam pertama, dan ini menghabiskan waktunya.

Bhikkhu yang lain dengan rajin mengerjakan tugasnya sebagai bhikkhu. Dia berjalan sambil bermeditasi selama waktu-malam pertama, beristirahat selama waktu-malam terakhir sepanjang malam. Kemudian, karena rajin dan selalu waspada, bhikkhu kedua ini mencapai tingkat kesucian arahat dalam waktu singkat.

Kisah Mahakassapa Thera

Suatu waktu ketika Mahakassapa Thera tinggal di gua Pipphali, beliau menghabiskan waktunya untuk mengembangkan kesadaran batin aloka kasina, dan mencoba untuk memperoleh kemampuan batin mata dewa, mengetahui siapa yang waspada, dan siapa yang lengah, juga siapa yang mati dan akan dilahirkan.

Sang Buddha, dari vihara, mengetahui melalui kemampuan batin mata dewa beliau, apa yang dikerjakan oleh Mahakassapa Thera, dan ingin mengingatkan bahwa apa yang dia lakukan hanyalah menghabiskan waktu. Maka Beliau menampakkan diri di depan thera tersebut dan berkata. "Anakku Kassapa, jumlah kelahiran dan kematian makhluk hidup tak terhitung dan tak dapat dihitung. Hal ini bukan tugasmu, hal ini adalah tugas para Buddha."

Kisah Perayaan Balanakkhatta

Suatu waktu perayaan Balanakkhatta dirayakan di Savatthi. Selama perayaan ini, beberapa pemuda melumuri tubuhnya dengan debu dan kotoran sapi, berkeliling kota sambil berteriak-teriak. Perbuatan mereka menyusahkan masyarakat. Mereka juga berhenti di setiap pintu dan tidak akan pergi sebelum diberi uang.

Waktu itu, beberapa murid Sang Buddha yang hidup berumah tangga berdiam di Savatti. Melihat kejadian tersebut, mereka mengirimkan utusan untuk menghadap Sang Buddha, meminta Beliau untuk tetap tinggal di vihara dan tidak ke kota selama tujuh hari. Mereka mengirimkan makanan ke vihara, dan mereka sendiri tinggal di dalam rumah.

Kisah Culapanthaka

Bendahara Kerajaan di Rajagaha, mempunyai dua orang cucu laki-laki bernama Mahapanthaka dan Culapanthaka. Mahapanthaka, yang tertua, selalu menemani kakeknya mendengarkan khotbah Dhamma. Kemudian Mahapanthaka bergabung menjadi murid Sang Buddha.

Culapanthaka mengikuti jejak kakaknya menjadi bhikkhu pula. Tetapi, karena pada kehidupannya yang lampau, pada masa keberadaan Buddha Kassapa, Culapanthaka telah menggoda seorang bhikkhu yang sangat bodoh, maka dia dilahirkan sebagai orang dungu pada kehidupannya saat ini. Dia tidak mampu mengingat, meskipun hanya satu syair dalam empat bulan. Mahapanthaka sangat kecewa dengan adiknya dan mengatakan bahwa adiknya tidak berguna.

Kisah Kumbhaghosaka, Seorang Bankir

Suatu ketika, ada suatu wabah penyakit menular menyerang kota Rajagaha. Di rumah bendahara kerajaan, para pelayan banyak yang meninggal akibat wabah tersebut. Bendahara dan istrinya juga terkena wabah tersebut. Ketika mereka berdua merasa akan mendekati ajal, mereka memerintahkan anaknya Kumbhaghosaka untuk pergi meninggalkan mereka, pergi dari rumah, dan kembali lagi pada waktu yang lama, agar tidak ketularan. Mereka juga mengatakan kepada Kumbhaghosaka, bahwa mereka telah mengubur harta sebesar 40 crore. Kumbhaghosaka pergi meninggalkan kota, dan tinggal di hutan selama 12 tahun, dan kemudian kembali lagi ke kota asalnya.

Kisah Samavati

Kerajaan Kosambi waktu itu diperintah oleh Raja Udena dengan permaisurinya Ratu Samavati.

Ratu Samavati mempunyai 500 orang pengiring yang tinggal bersamanya di istana. Ia juga mempunyai pelayan kepercayaan, Khujjuttara, yang setiap harinya bertugas untuk membeli bunga.

Suatu hari terlihat Khujjuttara sedang menanti tukang bunga langganannya, Sumana. Tetapi yang dinantinya tak kunjung datang, sedang hari semakin siang. Bergegas ia ke rumah Sumana dengan maksud untuk membelinya di sana. Setibanya di sana, Sumana kelihatannya sedang repot menjamu tamu-tamunya, yaitu para bhikkhu. Dengan menggerutu terpaksa Khujjuttara menunggu sampai perjamuan itu selesai.