Thursday, September 27, 2012

Dokter belajar Zen



Seorang dokter muda di Tokyo yang bernama Kusuda bertemu dengan teman sekolahnya yang telah mempelajari Zen. Dokter muda itu menanyakan apakah Zen itu.

"Saya tidak bisa mengatakan kepada anda apakah Zen itu,"

temannya menjawab, "Tetapi satu hal yang pasti. Jika anda memahami Zen, anda tidak akan takut untuk mati."

"Baiklah, " kata Kusuda. "Saya akan mencobanya. Dimanakah saya bisa mendapatkan seorang guru?"

"Pergilah ke Guru Nan-in," temannya memberitahukan kepadanya. Oleh sebab itu Kusuda pergi menjumpai Nan-in. Ia membawa sebuah pisau belati yang panjangnya sembilan setengah inci

untuk mengetahui apakah guru itu takut akan kematian atau tidak.

Ketika Nan-in melihat Kusuda, ia berseru, "Hai, teman. Apa kabar? Sudah lama kita tidak berjumpa!" Ini membuat Kusuda bingung, lalu ia menjawab, "Kita belum pernah bertemu sebelumnya."

"Benar," Nan-in menjawab, "Saya kira anda adalah seorang dokter yang belajar di sini."

Dengan sikap pembuka yang seperti ini, Kusuda kehilangan kesempatan untuk menguji si guru, sehingga dengan malu ia memohon untuk diberikan instruksi Zen.

Nan-in mengatakan, "Zen bukanlah tugas yang berat. Jika anda adalah seorang dokter, perlakukanlah pasien anda dengan kebaikan. Itulah Zen."

Kusuda mengundang Nan-in tiga kali. Setiap kali Nan-in mengatakan hal yang sama, "Seorang dokter tidak boleh memboroskan waktunya di sini. Pulanglah dan rawatlah pasien anda."

Masih belum jelas bagi Kusuda bagaimana ajaran seperti itu bisa menghapuskan ketakutan akan kematian. Oleh sebab itu, pada kunjungan keempat ia mengeluh, "Teman saya mengatakan bahwa jika mempelajari Zen, seseorang akan kehilangan ketakutan akan kematian. Setiap kali saya datang ke sini, anda menasihati saya untuk merawat pasien saya. Saya sudah tahu hal itu. Jika inilah yang anda katakan sebagai Zen, saya tidak akan mengunjungi anda lagi."

Nan-in tersenyum dan menepuk dokter itu, "Saya telah terlalu ketat terhadap anda. Marilah saya berikan sebuah koan kepada anda." Ia memberikan kepada Kusuda sebuah Mu dari Joshu untuk dipikirkan, yang merupakan tugas pencerah-pikiran pertama di dalam buku yang berjudul "The Gateless Guide" (Pintu Gerbang yang tidak Berbatas).

Kusuda mengggeluti masalah Mu (Tiada Apa-Apa) selama dua tahun. Akhirnya, ia merasa bahwa telah mencapai kemajuan dalam pikiran. Akan tetapi, si guru berkomentar, "Anda masih belum mencapai kemajuan."

Kusuda melanjutkan dengan penuh konsentrasi selama satu setengah tahun lagi. Pikirannya menjadi tenang. Problem terselesaikan. Tiada Apa-Apa menjadi kebenaran. Ia merawat pasiennya dengan baik dan bahkan tanpa ia sadari, ia telah bebas dari pemikiran tentang kehidupan dan kematian.

Lalu, ketika ia mengunjungi Nan-in, gurunya yang dulu ini hanya tersenyum.


Zen



Seorang umat bertanya kepada guru Zen.

Umat : Orang seperti apa yang mempraktekkan Zen ?

Guru : Orang seperti saya.

Umat : Guru, bagaimana kamu melatih Zen ?

Guru : Berlatih Zen adalah mengganti pakaian, mandi, tidur dan makan.

Umat : Tapi Itu kan pekerjaan duniawi. Pelajaran pikiran yang bagaimana yang bisa disebut dengan berlatih Zen ?

Guru : Menurutmu, apa yang aku lakukan setiap hari ?

Catatan
Latihan Zen berasal dari percakapan setiap hari, mencuci muka, makan dan hal-hal seperti itu. Orang harus melakukannya dengan penuh KESADARAN. Persepsi atas hakikat benda berasal dari melakukan hal-hal itu dengan sepenuh hati.

Buddha dan Putri Magandiya


 Suatu saat ayah Magandiya, karena sangat tertarik dengan kepribadian dan penampilan Sang Buddha, telah mempersembahkan anak perempuannya yang sangat cantik untuk dijadikan istri Sang Buddha Gotama. Tetapi Sang Buddha menolak persembahan itu dan berkata bahwa Beliau tidak akan mau menyentuh hal itu yang penuh dengan kotoran, sekalipun dengan kakinya. Ketika mendengar kata-kata ini kedua ayah dan ibu Magandiya melihat kebenaran dalam kata-kata tersebut dan mencapai tingkat kesucian anagami. Tetapi Magandiya menganggap Sang Buddha sebagai musuh dan bertekad untuk membalas dendam kepada Beliau.

 Kemudian ia menjadi salah satu dari tiga istri Raja Udena. Ketika Magandiya mendengar kabar bahwa Sang Buddha telah datang ke Kosambi, ia menyewa beberapa penduduk dan pelayan-pelayannya untuk mencaci maki Sang Buddha saat Beliau memasuki kota untuk berpindapatta. Orang-orang sewaan tersebut mengikuti Sang Buddha dan mencaci maki dengan menggunakan kata-kata yang sedemikian kasar seperti `pencuri, bodoh, unta, keledai, suatu ikatan ke neraka`, dan sebagainya. Mendengar kata-kata yang kasar tersebut, Y.A.Ananda memohon kepada Sang Buddha untuk meninggalkan kota dan pergi ke tempat lain.


 Tetapi Sang Buddha menolak dan berkata, "Di kota lain, kita juga mungkin dicaci maki dan tidak mungkin untuk selalu berpindah tempat setiap kali seseorang dicaci maki. Lebih baik menyelesaikan masalah di tempat terjadinya masalah. Saya seperti seekor gajah yang menahan panah-panah yang datang dari semua penjuru. Saya juga akan menahan dengan sabar caci maki yang datang dari orang-orang yang tidak memiliki moral."

 Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 320,321,dan 322 berikut ini :

 "Aham nagova sangame
 capato patitam saram
 ativakyam titikkhissam
 dussilo hi bahujjano.

 Dantam nayanti samitim
 dantam raja` bhiruhati
 danto settho manussesu
 yo` tivakyam titikkhati.

 Varamassatara danta
 ajaniya ca sindhava
 kunjara ca mahanaga
 attadanto tato varam."

 Seperti seekor gajah di medan perang
 dapat menahan serangan panah
 yang dilepaskan dari busur,
 begitu pula Aku (Tathagata)
 tetap bersabar terhadap cacian;
 sesungguhnya, sebagian besar orang
 mempunyai kelakuan rendah.

 Mereka menuntun gajah yang telah terlatih
 ke hadapan orang banyak.
 Raja mengendarai gajah yang terlatih ke medan perang.
 Di antara umat manusia, maka yang terbaik adalah
 orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri
 dan dapat bersabar terhadap cacian.

 Sungguh baik keledai-keledai yang terlatih,
 begitu juga kuda-kuda Sindhu
 dan gajah-gajah perang milik para bangsawan;
 tetapi yang jauh lebih baik dari semua itu
 adalah orang yang telah dapat menaklukkan dirinya sendiri.

 Pada akhir khotbah Dhamma tersebut, mereka yang telah mencaci maki Sang Buddha menyadari kesalahannya yang datang untuk menghormat Beliau, beberapa di antara mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti.


 yang bisa di petik ialah:
 "Aham nagova sangame
 capato patitam saram
 ativakyam titikkhissam
 dussilo hi bahujjano.

 Dantam nayanti samitim
 dantam raja` bhiruhati
 danto settho manussesu
 yo` tivakyam titikkhati.

 Varamassatara danta
 ajaniya ca sindhava
 kunjara ca mahanaga
 attadanto tato varam."

 Seperti seekor gajah di medan perang
 dapat menahan serangan panah
 yang dilepaskan dari busur,
 begitu pula Aku (Tathagata)
 tetap bersabar terhadap cacian;
 sesungguhnya, sebagian besar orang
 mempunyai kelakuan rendah.

 Mereka menuntun gajah yang telah terlatih
 ke hadapan orang banyak.
 Raja mengendarai gajah yang terlatih ke medan perang.
 Di antara umat manusia, maka yang terbaik adalah
 orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri
 dan dapat bersabar terhadap cacian.

 Sungguh baik keledai-keledai yang terlatih,
 begitu juga kuda-kuda Sindhu
 dan gajah-gajah perang milik para bangsawan;
 tetapi yang jauh lebih baik dari semua itu
 adalah orang yang telah dapat menaklukkan dirinya sendiri.