Thursday, August 30, 2012

Roda Doa, Om Mani Padme Hung

Roda doa atau Roda Mani, adalah sebuah roda yang diisi dengan mantra-mantra dan sutra yang sangat banyak yang dibungkus searah jarum jam mengelilingi sebuah sumbu. Beberapa roda doa berukuran kecil seperti gasingan.

Beberapa lainnya berukuran sangat besar sehingga dapat memenuhi sebuah ruangan. Seseorang memutar roda doa ukuran besar ini dengan memegang gagangnya dan kemudian berjalan searah jarum jam mengelilingi roda tersebut.

Jenis yang lainnya diletakkan pada air yang mengalir atau air terjun sehingga ia dapat memanen energi alami dan menyebarkan rahmat ke alam sekitarnya. Orang yang percaya memiliki keyakinan bahwa memutar roda doa ini atau mengibarkan bendera doa akan mengaktualisasikan doa-doa yang tertulis di dalamnya.

Propinsi Khan di Tibet mirip dengan daerah Barat Amerika yang liar. Orang-orang Kham adalah para penunggang kuda yang hebat, dan seperti halnya para penunggang kuda, mereka sangat mencintai kuda-kudanya. Hingga sekitar seabad yang lalu, Kham terdiri dari berlusin-lusin kerajaan yang lebih kecil, dimana setiap kerajaan tersebut memiliki angkatan perang sendiri, yang dibentuk melalui perekrutan wajib militer secara paksa.

Suatu ketika hidup seorang laki-laki tua jauh di sebelah timur Kham yang dikenal sebagai Pria Mani karena setiap hari, siang dan malam, dia selalu bisa ditemukan sedang memutar roda doa kecilnya dengan khusuk. Roda itu dipenuhi dengan mantra Kasih Sayang Yang Agung, Om Mani Padme Hung. Pria Mani itu hidup bersama anak lelakinya dan seekor kudanya yang bagus. Anak lelakinya adalah kebahagiaan dalam hidup pria tua itu; sedangkan kebanggaan dan kebahagiaan bagi anak lelaki tersebut adalah kudanya.

Istri pria tua itu, setelah melakukan kebajikan dan pengabdian yang panjang selama hidupnya, telah lama meninggal dan terlahir kembali di alam yang lebih beruntung. Sedangkan pria tua itu dan anaknya hidup sederhana, terbebas dari berbagai kebutuhan yang berlebihan, dan tinggal di salah satu rumah dari beberapa rumah batu yang kasar di tepi sungai di sebuah dataran yang luas.

Suatu hari kuda mereka menghilang. Tetangga-tetangga mereka ikut bersedih atas kehilangan satu-satunya harta milik pria tua yang berharga itu, tetapi pria tua yang selalu tenang itu tetap memutar roda doanya sambil terus menguncarkan mantra “Om Mani Padme Hung”, mantra nasional bangsa Tibet.

Kepada siapapun yang menyatakan duka-cita atas kehilangan kuda tersebut, ia hanya berkata,“Bersyukurlah untuk segala sesuatunya. Siapa yang bisa tahu apa yang baik dan apa yang buruk? Akan kita lihat ...”

Setelah beberapa hari, kuda yang hilang itu kembali, diikuti oleh sepasang kuda liar. Kuda-kuda liar ini kemudian dilatih oleh si pria tua dan anaknya. Para tetangga yang menyaksikan hal ini sangat bergembira dan mengucapkan selamat kepada pria tua itu. Pria tua itu hanya tersenyum dan berkata, “Saya berterima kasih ... Tapi siapa yang tahu? Kita akan lihat ...”.

Kemudian suatu hari, ketika mengendarai salah satu dari kuda liar itu, si anak lelaki jatuh dan kakinya mengalami patah tulang. Beberapa tetangganya membawa anak lelaki itu pulang ke rumahnya, mengutuk kuda yang liar itu, dan menyesali nasib si anak lelaki. Tetapi pria tua itu, duduk di sebelah ranjang anaknya, tetap memutar roda doanya terus menerus sambil dengan lembut membaca mantra Kasih Sayang Yang Agung dari Chenrenzig (Red: Avalokitesvara).

Ia tidak mengeluh maupun menjawab protes-protes tetangganya kepada nasib, tetapi hanya menganggukkan kepalanya dengan ramah, mengulangi apa yang pernah dikatakannya, “Sang Buddha adalah penuh kasih; saya bersyukur bahwa anak saya masih hidup. Kita akan lihat...”

Minggu berikutnya petugas-petugas militer muncul, mencari para wajib militer muda untuk dikirim ke garis depan pertempuran. Semua pria muda di daerah itu segera dibawa, kecuali anak lelaki pria tua itu yang sedang terbaring di ranjangnya.

Kemudian para tetangganya mengucapkan selamat kepada pria tua itu untuk keberuntungannya yang sangat besar, dan menganggap semua itu adalah berkat karma baik yang dikumpulkan oleh si pria tua dengan selalu memutar roda doanya dan selalu terus menerus mengucapkan mantra dari sela-sela bibirnya yang keriput.

Si pria tua hanya tersenyum dan tidak berkata apapun. Suatu hari ketika anak lelaki dan ayahnya sedang melihat kuda-kuda mereka yang bagus merumput di padang, pria tua yang pendiam itu sekonyong-konyong menyanyi :

“Hidup terus berputar dan berputar,
naik dan turun laksana kincir air;
Hidup kita adalah laksana keranjang-keranjang kincir itu,
kosong dan berisi bergantian terus menerus.

Laksana tanah liat dari si pembuat tembikar,
keberadaan jasmani kita berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya:
Bentuk-bentuk itu hancur dan terbentuk lagi dan lagi,

Yang rendah menjadi tinggi, yang tinggi akan jatuh;
gelap akan berubah menjadi terang,
dan yang kaya akan kehilangan semuanya.

Jika kau, anakku, adalah anak yang luar biasa,
kelak kamu akan terlahir kembali ke dalam sebuah biara.
Tetapi jika kau sangat cemerlang, anakku,
Maka engkau akan menjadi pejabat yang mengurusi perselisihan orang lain.

Seekor kuda hanya akan menyebabkan kesulitan seharga seekor kuda.
Kekayaan adalah baik, Tetapi dengan cepat akan kehilangan kesenangannya,
dan dapat menjadi beban, sumber pertengkaran, pada akhirnya.

Tak seorang pun tahu karma apa yang sedang menunggu kita,
tetapi apa yang kita tabur sekarang akan matang
dalam kehidupan-kehidupan yang mendatang, itu adalah pasti.

Maka berbuatlah baik pada semuanya dan jangan terbias,
berdasarkan ilusi tentang ‘memperoleh’ dan ‘kehilangan’.
Janganlah punya harapan maupun ketakutan,
pengharapan maupun kecemasan;

Bersyukurlah untuk segala sesuatunya,
apapun jatah yang kamu punya.
Terimalah segala sesuatunya;
terimalah setiap orang; dan ikutilah
Hukum Sang Buddha yang tidak pernah salah.

Hiduplah sederhana dan gampang dirawat, tetaplah
secara alamiah hidup tenang dan dalam damai.
Kau dapat menembak anak panah ke langit jika kau suka, anakku,
tetapi anak-anak panah itu pada akhirnya pasti akan jatuh kembali ke tanah.”
 

Ketika pria itu bernyanyi, bendera-bendera doa beterbangan melayang menutup kepala pria tua itu, dan roda mani yang kuno tersebut, yang diisi dengan ratusan mantra tulisan tangan, tetap berputar. Keadaan hening.

Sunday, August 26, 2012

Hati bertoleransi adalah hal yang Paling Indah

Kedokteran Tiongkok mengatakan, "Emosi dapat melukai badan, melukai hati." Dengan bertoleransi bukan hanya membuat diri kita semakin menarik, juga dapat membuat badan kita lebih sehat.

Kehidupan memberikan kita banyak toleransi, kalau tangan terluka bisa sembuh dengan sendirinya, kalau salah makan bisa muntah keluar, lalu mengapa kita juga tidak banyak bertoleransi kepada orang lain?

Kalau dalam kehidupan ini kita bisa menyikapi perselisihan dengan toleransi, maka tidak peduli siapapun yang bersalah, kita dapat melangkah mundur dan menjelaskan segalanya dengan tenang juga dengan cara yang bersahabat. 

Seseorang yang paling mendominasi pun akan enggan untuk marah ketika ia menjumpai kata-kata dan perilaku yang penuh belas kasih. Hal ini bahkan dapat menyelesaikan perselisihan yang paling rumit sekalipun. 

Hal ini sering terjadi dalam hubungan antar perseorangan, pihak yang menderita atau yang dilecehkan akan mengambil sikap, "Anda membuat saya menderita, maka saya akan membuat Anda lebih menderita lagi." 

Tetapi ini hanya akan meningkatkan permasalahan menjadi besar, karena keburukan dibalas dengan lebih buruk, sesuatu yang tidak dapat memecahkan pokok permasalahan. Ada seorang anak perempuan yang sering memiliki emosi yang meledak-ledak, bahkan anak laki-laki di sekolah juga takut pada dirinya, tetapi kemudian teman sekolah mendapatkan dia telah berubah. 

Dulu, jika ia menghadapi sesuatu masalah bisa membuat emosinya meledak-ledak, sekarang malah tidak ada reaksinya. Dia tiba-tiba tidak memaki orang lagi, teman sekolah yang sering dimaki olehnya, semua merasa tidak terbiasa, oleh karena hal ini semua orang diam-diam bertanya-tanya.

Kemudian guru kelasnya juga melihat perubahan perilakunya, lalu bertanya padanya alasan yang membuat dia berubah. Setelah menjelaskannya, gurunya menganggap proses perubahan itu akan sangat bermanfaat untuk memotivasi teman-temannya, oleh karenanya lalu mendorong dia untuk berbagi pengalaman dengan teman sekolah di depan kelas. 

Di rumah, setiap hari sayalah yang bertugas membuang sampah. Ada kalanya saya terlalu pagi membawa sampah keluar rumah, karena mobil sampah belum sampai, saya malas menunggu, lalu melihat ada orang menaruh sampah di depan pintu orang lain, saya juga ikut menaruh sampah di depan pintu orang itu lalu saya tinggal pergi.

Di rumah yang dititipi sampah tersebut, yang bertanggung-jawab membuang sampah adalah dua kakak beradik. Adik laki-laki jadi sering membantu membuangkan sampah orang lain, setelah lama akhirnya tidak tahan juga. Pada satu hari ia marah besar, "Hai, orang brengsek, berani berbuat mengapa tidak berani mengakui, kalau berani ayo tampil keluar!"

Mendengar adiknya berteriak-teriak, sang Kakak lalu keluar menghentikan dia dan berkata, "Apa yang kau ributkan, orang lain kan bukan sengaja, daripada untuk marah-marah, waktunya bisa kau pakai untuk buang sampah saja." 

Setelah selesai berbicara, ia lalu mengangkat beberapa kantong sampah berat untuk dibuang. Waktu itu saya perhatikan dari belakang, Kakak perempuan itu terlihat penuh kelembutan, rasanya sungguh membuat hati terharu!

"Malam itu, menjelang waktu tidur, setelah memikirkan kembali kejadian siang itu, saya merasa betapa diri ini berhati sempit, demi sedikit urusan kecil sering marah-marah besar, sama seperti adik laki-laki itu. Penampilan wajahnya mengerikan, kelihatan jelek sekali, sangat menakutkan. Lagipula, kalau terus-terusan begitu,  di kemudian hari bukankah tidak ada yang mau menikah dengan saya?"

"Maka saya memutuskan, harus menjadi seperti sang kakak yang penuh toleransi, dan berhati baik itu. Di atas adalah alasan saya berubah." Setelah dia selesai bercerita, di kelas penuh dengan gemeruh tepuk-tangan.

Saturday, August 11, 2012

Tuhan dan Landasan iman kita? (think Out of the Box)

Ijinkan saya membagi sudut pandang saya, Agama yang ideal adalah agama yang logis, bisa dinalar dengan akal. Pencarian dengan hati dan pikiran kemudiannya, untuk menambah ketebalan iman
yang tadinya hanya diyakininya….

Agama ideal adalah agama dengan bukti-bukti kongkrit… Sudut pandang saya saat ini. Idealnya, IMAN bukan “awal”, tetapi “HASIL”. Jika anda meletakkan “iman” di awal, sebagai permulaan, maka hasilnya adalah pembenaran. Dan inilah yang sering terjadi.

“Iman” seperti ini tidak mau kalah dan salah. Maunya benar melulu, dan para penganutnya kerap kali melakukan standar ganda untuk mempertahankan keimanannya, atau penafsiran yg berbeda2. Jadi ketika baca suatu kalimat pada kitab, tafsirannya mungkin artinya begini atau mungkin artinya begitu. Jika anda meletakkan “iman” di awal, maka: apa yang menjadi dasar iman anda? Ini pertanyaan fundamental yang serius. Yang benar itu: “iman” adalah hasil, letaknya di ujung. Yang disebut dasar berpikir itu adalah: analisa terhadap realita. Inilah yang kemudian “diolah” sehingga ujung-ujungnya menghasilkan “iman” (atau tidak beriman) terhadap teologi tertentu (tergantung bagaimana “proses”-nya). Itu adalah alur pikir yang valid. Bukan iman dulu, terus dicari-cari pembenarannya! Itu sih alur pikir orang awam!!!

Thursday, August 9, 2012

HUBUNGAN ANTARA AGAMA BUDDHA DAN ILMU PENGETAHUAN MODERN

Tidak akan ada yang mempermasalahkannya, kiranya, kecuali oleh ilmu pengetahuan itu sendiri, kalau dikatakan bahwa Agama Buddha itu merupakan suatu sistem, yang mempunyai pandangan yang objektif dan mandiri, mengenai sifat dan tujuan kehidupan manusia. Sifat objektivitasnya yang menonjol dari Agama Buddha, itu menyebabkan sistem Agama Buddha itu memisah dari Alam Agama, dan sekaligus mengakibatkan Agama Buddha lalu menggabung dengan jenis penyelidikan ilmiah yang berusaha untuk mencari Kenyataan (=Truth), yang mencirikan India pada zaman Gupta, dan periode-periode awal lainnya dari peradaban India, yang memungkinkan sekarang ini, sebagian besar para cendekiawan dari dunia intellektual, -baik di Dunia Timur, maupun di Dunia Barat-, terdorong untuk sibuk memperkembangkan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai Kenyataan-Kenyataan tersebut. Penulis 

Sunday, August 5, 2012

Dewi Welas Asih Yang Tidak Dapat melihat

Dewi Kwan-Im atau Dewi Avalokitesvara adalah Dewi yang selalu mendengar dan melihat tangisan dan penderitaan para mahluk.

Di vihara Dewi Kwan-Im yang sudah beratus-ratus tahun, dimana cat dinding dan langit-langit telah pudar warnanya menjadi kecoklat-coklatan. Rupang sang Dewi Kwan-Im yang welas asih, Para Mahluk Suci Tanpa Batas, Budha Agung Amitabha, Bodhisatva dan para Dharmapala tampak telah sangat pudar warnanya.

Ukiran, ornamen dan perhiasan pada meja altar, pintu, tian, hingga langit-langit telah banyak yang rusak dan kotor. Terlebih-lebih rupang Sang Dewi yang tampak bagian badannya hampir pudar seluruh warnanya, dan pada wajahnya tidak lagi tampak alis dan bola matanya.

Walaupun vihara Dewi Kwan-Im ini tampak sangat memprihatinkan, tetapi ternyata setiap hari banyak umat yang datang menghadap Sang Dewi untuk memohon petunjuk dan berkah. Banyak pula yang datang kembali untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Dewi, rupanya banyak sekali permohonan yang telah di bantu oleh Sang Dewi sehingga terkabul. Sungguh suatu hal yang tidak mengherankan bila vihara Sang Dewi menjadi salah satu vihara yang sangat terkenal di kota ini.

Pada suatu hari, datang seorang lelaki yang cukup terkenal di kota tersebut. Lelaki ini terkenal bukan saja karena perusahaannya yang sangat banyak, tetapi juga akan partisipasinya dalam berbagai kegiatan sosial dan kedermawanan. Bahkan lelaki ini banyak menjabat sebagai pengurus aktif dalam berbagai macam organisasi dan yayasan sosial. Kedatangannya kali ini bersama seorang seniman rupang yang terkenal, rupanya lelaki ini mempunyai suatu niat baik untuk memperbaiki vihara Dewi Kwan-Im ini.

Lelaki ini langsung menghadap kepada kepala vihara memohon izin untuk memperbaiki rupang-rupang di vihara. Kepala vihara menyetujui niat baik lelaki ini untuk mengecat dan memperbaiki rupang-rupang di vihara, karena memang sejak awal berdirinya vihara ini belum pernah diperbaharui. Kemudian lelaki ini memberikan arahan agar senimannya dapat mulai bekerja keesokan harinya.

Selanjutnya seniman yang diutus oleh lelaki tersebut mulai bekerja setiap hari untuk melukis dan mewarnai kembali rupang-rupang di vihara. Setiap hari pula, lelaki ini selalu datang untuk melihat-lihat dan mengawasi hasil kerja seniman kebanggaannya. Tampaknya seniman ini juga berusaha keras untuk memberikan suatu kebanggaan dan kepuasan kepada lelaki ini, sehingga dirinya bekerja tanpa lelah dengan penuh keseriusan.

Seminggu sudah berlalu, dan seniman ini sangat bangga akan hasil karyanya. Dia lalu menghadap lelaki yang mengutusnya untuk melaporkan tentang hasil pekerjaannya.

"Tuan, seluruh pekerjaan saya telah selesai. Ini merupakan karya saya terbaik selama saya menjadi seniman." kata seniman dengan bangga.

"Karya yang luar biasa, saya sangat kagum. Semuanya sekarang tampak lebih hidup dan indah. Memang pantas anda di sebut seniman nomor satu." Puji lelaki itu.

Lelaki itu lalu menghadap kepala vihara untuk menunjukan hasil karya senimannya. Lalu kepala vihara melihat rupang yang telah diperbaharui satu persatu.

"Sekarang rupang Wen-Chu-Khong tampak lebih gagah dan berwibawa, sungguh luar biasa jasa anda terhadap Yang Mulia Wen-Chu-Khong. Semoga Yang Mulia Wen-Chu-Khong selalu melindung anda sekeluarga dari segala halangan dan mara bahaya." Kata kepala vihara.

"Terima kasih, Guru."

Lalu mereka melanjutkan untuk melihat Jambala.

"Sungguh cerah dan tampak lebih hidup rupang Jambala ini. Semoga Yang Mulia Arya Jambala selalu melimpahkan rejeki dan berkah kepada anda sekeluarga." kata kepala vihara.

"Terima kasih, Guru." katanya kembali dengan senang, mendengar doa permohonan itu.

Lelaki ini sangat bangga dan puas menunjukkan satu-persatu hasil kerja senimannya. Kepala vihara tampaknya juga senang dengan hasil karya senimannya. Setiap kali melihat rupang yang telah diperbaharui, kepala vihara selalu memuji dan memohon berkah untuk keluarga lelaki ini.

Lalu tibalah mereka di hadapan rupang Sang Dewi Kwan-Im, kepala vihara memperhatikan lama sekali rupang Sang Dewi.

"Sungguh luar biasa indahnya Sang Dewi, pakaiannya tampak hidup dan senyumnya Sang Dewi sangat menawan. Silahkan seniman anda melanjutkan karyanya memperbaiki mata Sang Dewi.." Kata kepala vihara.

"Guru mohon maaf, saya sengaja menyuruh seniman saya untuk tidak memperbaiki mata Sang Dewi." Jelas si lelaki.

"Kenapa anda tidak memperbaiki mata Sang Dewi." Tanya kepala vihara keheranan.

"Mohon maaf Guru, Saya tidak ingin Sang Dewi dapat melihat saya." Kata sang lelaki.

"Mengapa anda tidak ingin dilihat Sang Dewi? Bukankah anda telah melakukan perbuatan amal baik dengan memperbarui rupang-rupang vihara Sang Dewi." Tanya kepala vihara lebih heran lagi.

Pengusaha ini lalu membawa kepala vihara untuk pindah keruangan sebelahnya yang tampak lebih sepi, rupanya lelaki ini tidak ingin ucapannya didengar oleh siapapun diruang altar Sang Dewi.

"Guru, saya ini seorang pengusaha yang tidak selalu dijalan yang lurus dan benar. Saya kadang terpaksa harus berbohong dan kadang berbuat sedikit menyimpang untuk mencapai apa yang saya inginkan. Walaupun demikian, permintaan saya banyak dikabulkan oleh Sang Dewi. Saya benar-benar merasa sangat bersyukur atas pertolongan Sang Dewi." bisik lelaki ini dengan perlahan-lahan di telinga kepada vihara.

Kepala vihara terdiam kebingungan dan berusaha mencoba menangkap apa sebenarnya yang dimaksud oleh lelaki ini.

"Guru, saya tahu mengapa Sang Dewi selalu mendengar permohonan saya walaupun saya banyak melakukan kesalahan. Setelah saya amati ternyata Sang Dewi matanya buta, sehingga Sang Dewi tidak dapat melihat apa yang telah saya lakukan selama ini." bisik lelaki pengusaha.

Kepala vihara masih terdiam berusaha memahami makna penjelasan sang dermawan.

"Guru, Sang Dewi yang buta hanya dapat mendengar permohonan saya. Saya sengaja menyuruh seniman saya untuk tidak memperbaiki bola mata Sang Dewi karena saya lebih menyukai Sang Dewi tetap buta. Biarlah Sang Dewi hanya dapat mendengarkan permohonan-permohonan saya, tanpa dapat melihat apa yang telah saya perbuat." Jelas lelaki ini.

"Om Mani Padme Hum, sungguh benar-benar Dewi yang welas asih…." kepala vihara akhirnya bersuara, dan berbalik badan meninggalkan lelaki itu.

PANGERAN LIMA SENJATA DAN SI RAMBUT-LENGKET

Suatu ketika, Sang Boddhisatva terlahir sebagai putra Raja dan Ratu Benares. Pada hari pemberian nama, 800 peramal diundang ke istana. Dan sebagai hadiah, mereka diberi apapun yang mereka inginkan
untuk menyenangkan mereka. Dan mereka diminta untuk meramalkan nasib sang pangeran kecil, agar mereka dapat memberikan nama yang sesuai untuknya. Salah satu peramal ahli dalam membaca tanda tanda di badan. Ia berkata, “Tuanku, ini adalah berkah dari jasa-jasa anda. Dia akan menjadi raja penerus kerajaan ini.” Para peramal itu sangat pandai. Mereka mengatakan apapun yang ingin diketahui raja dan ratu. Mereka mengatakan, “Anakmu akan menjadi ahli 5 senjata.

HANYA KITALAH YANG DAPAT MENOLONG DIRI KITA SENDIRI (Only We Can Help Ourselves)

Semua makhluk adalah pemilik perbuatan mereka sendiri, terwarisi oleh perbuatan mereka sendiri, lahir dari perbuatan mereka sendiri, berhubungan dengan perbuatan mereka sendiri, tergantung pada perbuatan mereka sendiri, perbuatan apapun yang mereka lakukan baik ataupun buruk, itulah yang mereka warisi Sang Guru menasehati kita untuk merenungi lima hal ini dalam kehidupan sehari-hari kita.

Karma Atau Nasibkah Ini?

“Sesuai dengan benih yang di tabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula. Taburlah biji-biji benih & engkau pulalah yang akan merasakan buah dari padanya”. Samyutta Nikaya I: 227.

Dengan pandangan mata yang nanar, serta diiringi deraian air mata yang rintik-rintik, si Ani (bukan nama sesungguhnya) menyesali & menolak ketinggalan kelas yang di alami. Di dalam pikirannya selalu timbul pertanyaan mengapa si A, B & C yang menurut pandangannya jauh lebih bodoh alias idiot, bias lulus dengan angka yang menyakinkan, sedangkan dia, tidak! Padahal di caturwulan III saja agak ambruk. Di manakah keadilan itu ? Mengapa dia yang harus tinggal kelas sedangkan orang lain tidak ? Inikah yang namanya kesialan ? Rasanya hidup itu jadi hambar & tiada artinya sama sekali.

Saturday, August 4, 2012

Lebih Baik Mengharapkan Diri Sendiri

Su Dongpo ( 苏东坡 ) adalah seorang sastrawan yang terkenal pada zaman dinasti Song, dia berteman baik dengan guru besar Zhen. Pada suatu hari mereka berdua sedang pergi berdarma wisata, di sebuah dermaga
mereka melihat ada sebuah kuil Dewi Kwan Im.

Guru besar Zhen segera melipat tangan dan memberi hormat serta menyembah kepada Dewi Kwan Im.