Thursday, March 8, 2012

Memikirkannya Itu yang Susah

Tatkala baru menjadi bhikkhu di Thailand, suatu ketika guru saya hendak membangun aula yang besar. Pendek cerita, aula akhirnya selesai dibangun. Saat itu, tersisa sampah berupa gundukan tanah kotor yang sangat banyak. Suatu pagi, guru memberikan perintah untuk memindahkan semua tanah kotor itu ke area di belakang aula. Seharian penuh, mulai jam 9 pagi, kami melaksanakan perintah itu. Sampai pukul 10 malam pun, pekerjaan itu belum selesai. Pekerjaan itu baru tuntas setelah kami bekerja sangat keras selama 3 hari penuh. Bayangkan! Apalagi saya orang Inggris, di tengah hutan tropis yang panas dan penuh dengan nyamuk.

Tukar Posisi Saja

Sebagai bhikkhu, saya sering diminta untuk melakukan konseling perkawinan. Saya tidak tahu mengapa mereka meminta seorang bhikkhu untuk melakukan konseling seperti ini. Padahal, bhikkhu kan tidak pernah menikah. Mungkin karena bertanya kepada bhikkhu itu murah. Selain itu, nasihat dari bhikkhu juga bagus-bagus.

Suatu ketika, di Australia, saya kedatangan dua orang perempuan, kakak-beradik. Mereka datang untuk minta nasihat. Si kakak punya masalah dengan suaminya. Suaminya ini menimbulkan banyak masalah. Perempuan ini mengalami married-woman suffering (derita perempuan menikah). Apa boleh buat, semua suami kan seperti itu? Saya memberikan beberapa nasihat yang baik baginya.

Berapa Pun Tidak Cukup


Saya adalah bhikkhu yang sangat ketat, jadi saya tidak menerima uang apa pun. Saya tidak punya kartu kredit, tidak punya tabungan bank. Saya tidak punya uang sama sekali.Tapi ada satu perkecualian. Anda bisa menghadap saya dan berkata, ”Ajahn Brahm, saya tahu Ajahn tidak bisa menerima uang apa pun. Tapi, jika Ajahn mau, saya akan berikan apa pun yang Ajahn inginkan untuk keperluan pribadi Ajahn,bukan untuk wihara, namun untuk Ajahn." Dan biasanya, Anda akan mengatakan jumlah tertentu yang akan Anda sediakan. Misalnya 100.000 ringgit, atau 100.000 rupiah. Dan waktu pertama kalinya saya mengalami